'Novel Pemenang Lomba Romance Qanita yang akan diterbitkan oleh Penerbit Qanita'.
MARGINALIA
#1
ARUNA
Cahaya blitz. Teriakan
penggemar. Kamera. Wartawan. Untuk sesaat, semua yang terjadi di dalam kafe ini
terasa tidak nyata. Benarkah ini terjadi sekarang atau aku kembali ke masa
lalu? Di sampingku, Fendi, adik sekaligus manager Lescar sibuk menjual
kata-kata indahnya kepada wartawan. Ia terlihat begitu hidup, hingga aku lupa
kapan terakhir kali aku melihatnya sehidup itu. Setahun yang lalu? Sebelum
Padma meninggal? Sebelum aku memutuskan meninggalkan Lescar?
“Jimi adalah vokalis hebat,” kata Fendi kepada wartawan. “Tetapi melihat
Ren kembali seperti formasi awal Lescar, ini luar biasa. Semoga ini awal yang
baik untuk album ketiga Lescar.”
“Apakah keputusan mengganti Jimi ini ada hubungannya dengan penangkapan
Jimi karena narkoba kemarin?”
“Eight Records memiliki komitmen anti narkoba bagi semua artisnya,”
kata Fendi. Ia mulai
berkeringat, tidak nyaman mendengar pertanyaan itu. “Lescar, sebagai artis yang bernaung di bawah Eights
Records juga begitu.
Jika ada anak Lescar yang memakai narkoba, ia harus menerima konsekuensinya.”
“Ren, apa Anda sungguh-sungguh kembali ke Lescar atau hanya
sementara saja?” Wartawan
beralih kepadaku.
Bangji, bassist
Lescar, menyikutku. Aku tergagap
dan kemudian menutupinya dengan senyumku. “Tentu saja sungguhan. Kalau cuma sesaat, itu sama artinya dengan saya
mengecewakan fans Lescar.”
“Benarkah Anda vakum dari Lescar karena depresi, Ren?”
Akhirnya pertanyaan itu
keluar juga. Mendadak, aku
bisa melihat Padma duduk di antara wartawan, tersenyum ke arahku. Waktu
seperti membeku di sekitarnya. Rambutnya
yang lurus panjang tergerai indah, matanya yang indah kembali mencuri jiwaku. Aku seperti bisa suaranya
yang jernih membacakan puisi
Rumi.
“Heh, kalian semua berlebihan,” sela Juna, gitaris Lescar. “Memangnya kalian semua nggak pernah ingin istirahat? Roker juga manusia, bukan pisau belati.”
Beberapa wartawan tertawa mendengarnya.
“Bagaimana perubahan formasi
ini memengaruhi pembuatan album ketiga Lescar?”
“Nggak masalah,” kata Fendi. “Kami baru merekam satu atau dua lagu
bareng Jimi. Dan kalian tahu apa yang
lebih keren? Ren telah membuat lima lagu
untuk album terbaru Lescar.” Fendi bangkit. Ia semakin
bersemangat. “Jadi,
bagaimana, apa kalian semua mau mendengarkan lagu terbaru Lescar?”
Semuanya berteriak. Mereka telah lupa bagaimana aku menghilang secara
setahun. Mereka telah lupa semua gosip tentang Padma dan aku. Mereka hanya
perlu mengingat saat ini, saat Lescar kembali ke atas panggung.
Maka aku meraih mike, membiarkan irama mengambil alih tubuhku. Aku
telah kembali ke elemenku. Irama
rock Lescar segera menghentak, menggoyang kafe itu. Tidak perlu waktu lama sebelum fans
Lescar ikut menjerit, larut dalam suaraku. Aku baru menyadari betapa aku
merindukan dunia ini. Dunia di mana segalanya gemerlap, penuh raungan,
keringat, cahaya dan blitz kamera dan teriakan fans Lescar.
Aku pikir, inilah akhirnya. Aku tak membutuhkan yang lain lagi. Satu
orang Padma lebih dari cukup untuk menggelapkan duniaku dan aku tidak mau
kembali ke sana. Akan tetapi, aku salah. Sesuatu akan terjadi, dan sekali lagi
aku tidak berdaya mengikuti permainan takdir. Karena takdir sudah lama
memutarkan rodanya, jauh sebelum aku menyadarinya.
DRUPADI
Ketika pagi itu Inez
menelpon, aku tahu hari itu akan menjadi hari yang buruk. Aku membenci Inez.
Tidak, aku ingin membunuhnya. Aku ingin
menjebloskannya ke dalam brankas besi dan kemudian melesakkannya
ke palung laut yang paling
dalam. Tetapi sialnya aku tidak bisa melakukannya. Pertama karena ia adalah sepupuku, putri
dari Tante Lisye yang tercinta dan yang kedua karena ia adalah klien terbesar usahaku, wedding organizer Luna Nueva. Aku benci mengakuinya, tetapi tanpa
Inez dan calon suaminya yang sangat kaya itu, Luna Nueva mungkin sudah bangkrut
berlumuran hutang.
Tetapi masalahnya, Inez berubah
lebih cepat daripada orang minum obat dalam sehari. Hari ini ia meminta konsep
pernikahan simply elegant, besoknya
ia akan menginginkan konsep tradisional yang mewah, dan sebelum aku sempat
merancangnya, ia akan meminta konsep pernikahan di pinggir pantai. Begitu terus sehingga anak buahku nyaris angkat
tangan.
Dan Inez selalu melakukannya pada saat yang tidak tepat. Seperti pagi ini, saat
mobilku mendadak mogok di tengah jalanan macet. Di belakangku, belasan mobil
sibuk merongrongku. Chiya, asistenku yang mungil itu, terpaksa turun untuk mendorong mobilku. Namun baru
beberapa langkah, Chiya berhenti mendorong. Dari kaca spion aku bisa melihat
Chiya menerima telepon dengan wajah panik.
Aku berdecak jengkel. Hanya ada satu orang yang bisa membuat Chiya panik.
“Inez?” tanyaku begitu kami sudah berhasil meminggirkan mobil.
“Iya, mbak Inez minta ganti venue.”
“Lagi?” Nadaku meninggi. “Nggak usah diturutin, Chiya. Aku akan ke rumahnya
siang ini dan meminta ketegasan. Kalau Inez terus berubah, lebih baik dia nggak
usah pakai Luna Nueva aja!”
“Aduh, Ibu. Jangan,” Chiya kelihatan panik. “Kalau mbak Inez mundur, ntar teman-temannya
mbak Inez kabur juga. Udah ada dua yang deal,
nih. Empat lagi sudah kelihatan positif.
Lagipula dia udah mau memakai konsep simply
elegant yang kemarin aku ajuin itu.
Masalahnya cuma di venue. Mbak Inez maunya
nikah di venue yang belum pernah dipakai
sebelumnya.”
“Apa? Di Jakarta ini mana ada tempat yang belum pernah dipakai orang untuk
menikah sebelumnya? Apa dia mau nikah di kuburan atau TPA?”
“Maksudnya tempat baru, Bu.”
Chiya merajuk. “Ibu, jangan marah-marah gitu, dong.”
Aku membanting pintu
mobil, melampiaskan amarahku. Semua
orang selalu mengatakan bahwa aku adalah orang yang tegas dan sulit
berubah pikiran. Aku bisa
memecat orang dalam lima menit, tidak peduli orang itu punya lima anak dan ibu
yang kena stroke. Tetapi kecuali ibuku, tidak ada yang tahu aku punya titik
lemah pada segala sesuatu yang polos dan lembut. Jika ada kucing atau anak
anjing yang menatapku dengan tatapan polos, meski terkadang aku ingin memenggal
kepala mereka, aku tidak berdaya menolak permintaan mereka.
“Oke,” kataku mengalah. “Nanti kita pikirkan. Sekarang mendingan kita
mikirin mobil ini dulu.” Tanganku meraih ponselku, menekan nomer telepon
bengkel.
Di atasku, langit mulai menderu. Angin bertiup kencang, membawa terbang daun kering dan menerjang mata dan blazer hitamku. Aku menatap langit dan menyaksikan awan abu-abu bergumul menjadi satu. Perasaanku mengatakan hujan akan turun dengan cepat. Aku mendengus kesal. Mengapa hal-hal buruk selalu datang berendengan?
Di atasku, langit mulai menderu. Angin bertiup kencang, membawa terbang daun kering dan menerjang mata dan blazer hitamku. Aku menatap langit dan menyaksikan awan abu-abu bergumul menjadi satu. Perasaanku mengatakan hujan akan turun dengan cepat. Aku mendengus kesal. Mengapa hal-hal buruk selalu datang berendengan?
“Eh, ada kafe?” Mendadak Chiya bersuara. “Ibu, ada kafe
di sini!”
Aku mengalihkan pandanganku pada Chiya. Aku baru sadar
kami berdiri tepat di depan sebuah jalan setapak kecil. Tanaman rambat, bedeng bunga dan lentera tua tertata
rapi menghiasi sepanjang jalan setapak, berusaha mengundang orang untuk masuk
ke dalamnya. Tetapi, jika tidak ada papan kayu putih bertuliskan Kafe Marginalia,
aku tidak akan menyadari kehadiran tempat itu.
“Bu, kita cek, yuk.
Siapa tahu mau jadi venue.”
“Chiya, orang menikah itu untuk pamer, bukan untuk
main petak umpet. Nggak ada yang mau menikah di tempat tersembunyi seperti
itu.”
“Kalau nggak ada yang
tahu, berarti belum pernah ada yang menikah di situ, kan?”
“Enggak, Chiya.”
Tetes hujan mulai
berjatuhan. Aku mendongak. Hujan turun semakin cepat. Aku mengeluarkan kunciku
dan memutuskan untuk menunggu pihak bengkel di mobil saja. Namun Chiya berpikiran lain.
Chiya berlari masuk.
“Chiya!” teriakku.
Saat itu, seharusnya aku membiarkan Chiya. Toh kami akan bertemu lagi di kantor dan aku bisa memarahinya sepuas
hatiku. Namun aku justru melakukan hal yang sebaliknya. Aku mengikuti Chiya masuk, berlari menyusuri jalan
setapak dengan gemuruh dan rintik air hujan di atas kepalaku.
Untuk beberapa saat, aku hanya fokus menghindarkan diriku dari derau
air hujan. Aku tidak tahu aku ada di
mana, ke mana aku berlari. Aku teringat menginjak rerumputan yang basah, patung
cupid dan bunga teratai di dalam kolam, petir yang mengguncang dan akhirnya suara
lonceng saat Chiya mendorong pintu.
“Selamat!” Aku mendengar seseorang berkata. Aku tidak memperhatikannya
karena aku sibuk mengurai hujan dari rambut dan blazerku. Baru kemudian aku menemukan
seorang lelaki pendek tersenyum
lebar padaku. Ia mengingatkanku pada kue mochi: padat, bulat, dan hangat. “Selamat
karena Anda berdua berhasil menemukan kafe kami.”
Untuk sesaat, aku
mengira aku salah masuk ke sebuah perpustakaan kuno. Baru setelah aku menyadari
ada meja dan kursi serta bau kopi yang semerbak, aku sadar aku telah memasuki
sebuah kafe. Kafe itu terlihat kuno, seperti telah berabad-abad ditinggalkan
orang dan sekarang ditemukan kembali. Aku sedikit khawatir kafe itu akan runtuh
karena petir, tetapi sepertinya kafe itu cukup tokoh dan terawat dengan baik. Rak
bukunya terbuat dari jati, lampu hiasnya sederhana namun terlihat kokoh meski
telah dimakan usia. Sayang,
semua itu dinodai dengan pemilihan kayu murahan untuk undak-undakan. Jadi ini
yang kutebak tentang kafe Marginalia: dulu adalah toko
buku yang berkelas,
namun kemudian jatuh ke keturunannya yang miskin yang
mengubahnya menjadi kafe.
“Anda ingin pesan apa?”
tanya lelaki itu. Di dadanya tertera namanya, Gandi. “Tunggu dulu, biarkan saya
menebak. Anda pasti suka espresso. Dan untuk Anda,” Ia tersenyum pada Chiya.
“Anda pasti suka cokelat hangat.”
“Eh, betul banget,”
Chiya tertawa kecil. “Kok tahu?”
Gandi tergelak senang. “Mungkin aura Anda. Mungkin pakaian Anda.
Mungkin saya hanya asal menebak. Anda berdua pegawai di mana?”
“Sebenarnya, kami dari wedding organizer Luna Nueva,” Aku
mengeluarkan kartu namaku dengan sopan. “Saya Drupadi dan ini asisten saya, Chiya.”
“Wedding organizer?” Gandi kelihatan terkejut. “Saya Gandi, pemilik
kafe ini. Itu istri saya, Sonya.” Ia mengarahkan tangannya pada seorang
perempuan kurus berambut hitam panjang di balik meja kasir. Ia mengingatkanku
pada Sadako.
“ Oh, ya. Selagi Anda
di sini, Anda bisa menuliskan marginalia di buku.”
“Mar-Mar apa?” tanyaku.
“Marginalia,” kata
Gandi. “Catatan
pinggir di buku. Semua buku di sini boleh dibaca dan diberi catatan kecil
di sampingnya.”
Aku tidak begitu
tertarik pada buku. Bagiku hubungan dengan buku berakhir setelah kuliah selesai.
Tetapi Chiya berbeda. Ia langsung meraih buku terdekat yang bisa ia raih. Tak
lama kemudian ia terkikik sendiri.
“Maka Malin Kundang yang telah membatu menggelinding dan
menggelinding hingga menghantam
rumahnya. Ibunya mati seketika. Itu balasan bagi ibu yang
tidak bisa mendidik anaknya. Apa itu yang Anda maksud dengan marginalia?”
“Tentu saja. Anda bisa
menulis apa saja di samping buku.”
“Termasuk ‘brengsek’,
atau ‘kamu ngomong apaan sih?” kataku sinis.
Chiya mencari buku lain dan menunjukkan foto
seorang penulis perempuan yang ditambahi
kumis dan giginya diwarnai hitam. Gandi terbahak melihatnya.
“Itu perbuatan ayah
saya,” katanya sedikit malu. “Penulisnya terlalu narsis dan tulisannya tidak bermutu. Jadi, ayah saya membalasnya.”
“Buat apa Anda mengizinkan orang
mencorat-coret buku Anda? Apa nggak sayang?” tanyaku heran.
“Itu karena kami percaya, buku itu hidup.”
Aku mengangkat satu alisku, tidak mengerti.
“Banyak orang merasa sayang mencorat-coret buku mereka,
tetapi menurutku kebanggaan terbesar sebuah buku adalah saat
seorang manusia mengambilnya
dari sekian banyak buku yang ada, membacanya dengan sepenuh
hati, menekuk ujung halamannya,
meninggalkan marginalia di samping tulisan yang sudah ada dan kemudian
melanjutkannya kepada manusia lain. Itulah saat sebuah buku menjadi hidup, karena kemudian mereka akan
menciptakan keajaiban.”
Aku mencoba menelaah kalimatnya yang terdengar ajaib di telingaku.
“Tetapi keajaiban itu nggak ada. Semua
yang kita sebut sebagai keajaiban hanyalah gejala yang belum bisa dijelaskan
saja. Telepon,
listrik, pergi ke bulan, bukankah dulu terlihat seperti keajaiban di mata nenek
moyang kita?”
Gandi tergelak mendengar ucapanku. “Ah, tipe yang tidak
percaya pada keajaiban.”
“Bu
Dru bilang, kalau di dunia ini
ada keajaiban, kita tinggal duduk manis dan perang akan
berhenti dengan sendirinya,” tambah Chiya. “Iya kan, Bu?”
“Betul, Chiya. Alam ini hidup dalam aturannya sendiri, terkadang acak
dan jalang. Tidak ada yang romantis ataupun ajaib tentang kehidupan.”
“Masa?” Sonya datang membawakan pesanan kami. Sebuah
senyuman misterius tersungging di wajahnya. Aku sama sekali tidak menyukai
senyuman itu. Pada saat itu aku berharap aku sama sekali tidak pernah datang ke
tempat itu atau mengikuti perbuatan konyol Chiya karena kemudian Sonya menunduk
dan berbisik ke telingaku, mengatakan sesuatu yang membuat bulu kudukku
mendadak berdiri.
“Hati-hati. Biasanya orang yang bicara seperti itu akan kena batunya.”
Waduh, jadi penasaran kisah selanjutnya... :)
ReplyDeleteuuuww, cant wait! cant wait to read the whole story! pantas menang, gaya berceritanya matang....:)))
ReplyDeletealhamdulillaah, naskahku jg masuk naskah unggulan, tp harus belajar lg nih biar bisa menang ky mbak dyah...^^
Kereen bangeeet mba Dyah :) pantas untuk jadi juaraa! Uhuuy.... ga sabar nunggu bukunya, best seller! Yeay!
ReplyDeleteKereeen ceritanya mbak, jadi penasaran pengen segera baca bukunya :)
ReplyDeleteKalimatnya enak dibaca. Moga segera terbit, yak :)
ReplyDeleteKeren!
ReplyDeletehmmmm pokoknya aku mau beli bukunya yahh..
ReplyDeleteini fb ku hana sugiharti
ini email ku hana_mzg@yahoo.co.id
hubungi aku klo adh terbit ya mba :D
Wow kereeeen... bikin penasaran banget. Iya, diksinya mengalir ^_^
ReplyDeleteMakasih semua atas komentarnya. ^_^ Insya Allah akan diberi tahu kalau sudah terbit.
ReplyDeleteKeren Mbak. baca di atas udah kelihatan konflik berlapis. :)
ReplyDeleteKEREN!!
ReplyDeleteWaw! Cara berceritanya sungguh cair...
ReplyDeleteTernyata Marginalia itu sebuah kafe ya...
Aihhhhh pengin lanjut nih. Penasaran! Selamet ya mbak udah menang :)
ReplyDeletepengen bacaaaa...lum dapet bukunya
ReplyDeleteCeritanya keren banget, Mbak
ReplyDeletebuku ini sesuai dengan pengalaman saya yg ber kekasih-kan seorang musisi. saya berharap kisah saya seperti yg novel ini. karena jujur, saya menginginkan dia saja.
ReplyDelete