Catatan Dunia Menulis dan Kreativitas

25 June 2013

Cuplikan Novel UNFRIEND YOU Gagas Media 2013




PROLOG


Apakah ini neraka? Apakah lubang bumi yang paling dalam dan tidak ada jalan keluar?

Dalam remang cahaya, Katrissa menatap pintu bilik toilet, satu-satunya hal yang melindunginya dari bahaya yang mengancamnya saat ini. Pintu bergambar smiley tersenyum itu bergoncang hebat berkali-kali. Mereka masih berteriak memanggil namanya berkali-kali, mengancamnya, memaksanya untuk segera keluar.

“Katrissa! Keluar lo kucing buduk! Lo kira lo bisa selamat sembunyi di situ!”

Tanpa sadar Katrissa melangkah mundur, hanya untuk menyadari bahwa bilik itu terlalu sempit baginya untuk bergerak. Kakinya menghantam toilet yang sudah lama tidak terpakai sementara tangannya menyentuh ujung alat pel yang tergantung terbalik. Ia nyaris terjungkal saat salah satu kakinya menghantam ember yang diletakkan sembarangan di sana. Bau aroma tidak sedap, yang entah berasal dari mana, mulai menyentuh hidungnya.

Pojok derita. Begitu anak-anak menamakannya. Tempat mereka yang tidak diinginkan. Tempat mereka yang terbuang. Dulu Katrissa selalu meyakinkan dirinya bahwa hanya pecundang saja yang akan berakhir di tempat itu. Bukan dirinya. Ternyata ia salah besar.

Gedoran itu semakin menguat, terus menerus, membuat setiap detik hidupnya di bilik itu semakin menderita. Mengapa mereka tidak membiarkannya sendiri? Apakah penderitaannya selama ini tidak cukup?

Katrissa berusaha setegar mungkin. Tidak. Ia tidak boleh kalah. Tidak akan ia biarkan mereka tertawa penuh kemenangan. Tetapi semakin lama ia berada di sana, pertahanannya mulai runtuh. Pikirannya mulai dipenuhi oleh hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Apa yang akan mereka lakukan padanya? 

“Pergi kalian semua! Pergi!” jerit Katrissa tidak tahan lagi.

 “Lo pikir kami bakal ngebiarin lo di sini aja, Kat? Nggak, Kat! Nggak kali ini! Kali ini gue akan memastikan lo nyesel pernah hidup di dunia ini! Lo dengar itu, kucing buduk!”

“Gue nggak bisa ngebukanya.” Terdengar suara lain. Terdengar panik.

“Ya cari alat buat buka, bego! Obeng atau sesuatu, gitu!”

Mereka akan memaksa menjebol pintu ini. Tanpa sadar Katrissa meremas ujung seragamnya. 

Tuhan, ini tidak mungkin terjadi. Ia adalah Katrissa, sahabat Aura dan Milani, salah satu gadis paling populer di Eglantine High School. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Tuhan, tolong biarkan ia bangun dan menyadari ini hanya mimpi buruk. 

Pintu telah berhenti digedor, namun kekhawatiran Katrissa tidak berhenti ketika menyadari mereka melakukan sesuatu dengan engsel pintunya. 

Tolong, bisik Katrissa dalam hati. Tuhan, bila Engkau benar-benar ada, tolonglah. Tolonglah hamba-Mu sekarang juga. Aku nggak tahu sampai kapan aku bisa tahan. Aku bakal mati. Bakal mati. 

Dan gedoran pintu itu semakin lama semakin kuat. Hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum akhirnya pintu itu jebol.


 
#1

Angsa dan Itik



Ada tiga hal yang tidak diinginkan Katrissa pada awal tahun keduanya di Eglantine High School. Yang pertama adalah bertemu dengan orang yang mengingatkan pada kehidupan tahun lalunya yang memalukan. 

Yang kedua adalah orang dari masa lalu buruk sang gadis itu bertemu dengan temannya sekarang, teman-teman yang sejuta kali lebih keren daripada teman-teman yang dulu itu. Ini adalah kasus yang lebih tidak enak lagi. Kaum angsa akan mulai mempertanyakan apakah gadis angsa baru itu pantas terus menjadi angsa atau sebaiknya dikirimkan kembali ke habitat lamanya.

Yang ketiga sekaligus yang paling penting adalah, kedatangan murid baru yang akan mengubah hidup si gadis angsa baru untuk selamanya. 

Dan itu semua menimpa hidup Katrissa Satin tahun ini. Atau lebih tepatnya lagi, hari ini.

Katrissa Satin keluar dari pintu belakang mobilnya, menarik keluar sebuah boks cokelat besar yang berat itu. Supirnya, Pak Yon, segera membantu nona mudanya tanpa mempedulikan mobil-mobil di belakang mereka yang mengklakson tidak sabar.  

Kadang Katrissa merasa jengkel mengapa begitu banyak anak di Eglantine High (atau lebih sering disebut Egan) yang merasa wajib untuk diantarkan persis sampai di depan pintu gerbang. Padahal, kalau mereka mau berjalan sedikit saja, kemacetan di sekitar jalanan sekolahnya tidak akan separah ini. 

Lima detik kemudian ia ingat perkataan Aura. Tidak ada selebritas yang berjalan kaki menuju red carpet. Bagi banyak anak Eglantine High, gerbang sekolah adalah red carpet  itu sendiri. 

Dengan susah payah, Katrissa mengangkat boks cokelatnya berisi beragam perlengkapan presentasinya, disusul dengan sling bag-nya yang cukup berat. Ia bertanya-tanya mengapa di sekolah sebagus ini tidak ada jasa kurir. Atau lebih parah lagi, tidak ada teman yang mengulurkan tangannya. 

Dulu, ia mengira dengan menjadi salah satu BFF Aura Amanda, salah satu cewek paling populer di Eglantine High, otomatis semua orang akan dengan senang hati membantunya. Salah besar. Tidak ada yang suka pagi-pagi harus menjadi kuli. 

Dengan mengerang kecil, Katrissa mulai berjalan memasuki gerbang sekolahnya, mengikuti arus puluhan siswa lain. Ia harus bergerak cepat sebelum jam pelajaran dimulai. Ia tidak ingin nasibnya sama dengan kelompok yang presentasi minggu lalu: mendapat sorotan tajam dari Mr. Bono karena belum siap pada saatnya. 

Pagi itu matahari terasa lebih terik daripada biasanya. Tubuh Katrissa mulai gerah, membuat seragam Eglantine High-nya yang berwarna cokelat mulai menampilkan titik-titik keringat di punggungnya. 

Katrissa berharap ia bertemu dengan Aura sehingga ia bisa minta bantuannya untuk membawakan barang. Sahabatnya itu bilang ia sudah datang itu tetapi mengapa ia sama sekali tidak terlihat batang hidungnya? 

“Mau gue bantu, Katrissa?”

Katrissa menoleh. Sudah cukup lama Katrissa tidak melihat Langit Lazuardi dan sejujurnya, ia tidak berharap ia akan bertemu dengannya lagi. Bukan karena dia pernah jahat padanya. Hanya saja, katakanlah, ia jatuh di kategori yang salah. Kalau ada spesimen sempurna dari itik geeky yang membuat Aura antipasti, Langitlah orangnya.

Semua dari diri Langit menghembuskan udara geeky. Mulai dari kacamatanya yang berframe tebal hingga poninya yang panjang dan diikat ke belakang dengan gelang karet. Padahal sebenarnya Langit tidak jelek. Ia cukup tinggi, meskipun tidak  menjulang tinggi seperti tiang listrik, dan ketika ia tersenyum, seperti yang tengah ia perlihatkan sekarang, senyumnya cukup manis. Tetapi semuanya menguap, berkat aura geeky-nya.

 “Pagi, Langit,” balas Katrissa. 

Langit mengulurkan tangannya untuk membantu. Dengan terpaksa, Katrissa membiarkan Langit mengangkat boks cokelatnya. Begitu enteng cowok itu membawa bawaannya seakan-akan boks itu hanyalah segenggam kapas. Terkadang Katrissa lupa kalau cowok lebih kuat dari cewek. 

“Lo masih ingat gue,” Langit terlihat senang. 

Bagaimana mungkin Katrissa melupakannya? Cowok itu pernah membantunya beberapa bulan yang lalu. Ia berterima kasih untuk itu, tetapi pada saat yang sama ia juga tidak ingin mengingatnya kembali. Itu adalah salah satu momen paling memalukan dalam hidupnya.

“Gue bukan tipe yang gampang lupa sama orang.”

“Baguslah kalau begitu,” Langit  berjalan menyusuri koridor berdampingan dengan Katrissa. Berjalan seperti ini membuat Katrissa merasa mereka seperti pasangan saja. Ia mulai gerah ketika beberapa cewek mulai membicarakan mereka. 

Katrissa berusaha menjaga jarak di antara mereka, tetapi Langit seperti tidak mengerti. Ia malah berusaha berusaha memperkecil jarak di antara mereka. Hebat. Semoga saja Aura tidak melihat Langit. Karena kalau itu terjadi, kiamat akan datang. Entah pidato apa lagi yang akan disemburkan Aura padanya. 

“Katrissa, lo lagi sibuk apaan sekarang?” Langit menoleh kepadanya.

Selain sibuk berbelanja, ke salon atau yoga dengan Aura dan Milani? Tidak banyak. 

“Biasa aja. Emangnya kenapa?”

“Masih suka bikin apa itu kerajinan dari kertas itu…umm...papercraft?”

Tidak banyak orang di sekolahnya yang tahu bahwa ia menyukai papercraft. Paling hanya teman-temannya dulu di klub seni atau Ms. Gina sebagai guru seninya. Tetapi kemudian Katrissa teringat, gara-gara insiden paperdress terkutuk itu ia jadi mengenal Langit. Tentu saja Langit tahu kalau ia menyukai papercraft.

“Nggak terlalu sering. Emangnya kenapa?”

Wajah Langit terlihat berbinar-binar ketika ia menceritakan rencananya. “Sebulan lagi bakal ada awareness week. Tahun ini kami berencana untuk ngangkat tema soal bullying. Gue berharap banyak anak yang nyumbang karya seninya, jadi izin dari sekolah bakal lebih mudah.”

Bullying?” tanya Katrissa tidak mengerti. “Buat apa? Di Egan kan nggak ada bullying.”

“Sebenarnya, bullying itu banyak bentuknya. Nggak cuma dalam bentuk ngegebukin anak baru aja, tetapi…”

“Katrissa!”

Langit terpaksa menghentikan pembicaraannya. Katrissa tahu betul suara itu tanpa ia harus menoleh. Dan itu adalah ketakutannya nomer dua: kala itik dari masa lalu bertemu dengan angsa.

Sekilas fakta, tahun lalu Katrissa adalah si itik nerdy: berkacamata, nyaris tidak punya teman. Dan kemudian, karena satu dan lain hal, ia bertemu dengan angsa yang menaikkan derajatnya menjadi seekor angsa. Cukup menyenangkan, sampai akhirnya ia harus bertemu dengan masa lalunya, kaum itik. Itik-itik itu akan memandang si angsa dengan perasaan tidak rela bahwa salah satu dari mereka telah berubah menjadi angsa. Di lain pihak, kaum angsa merasa seharusnya semua itik itu ditangkap saja dan dijadikan bebek goreng.

Jika Langit adalah wujud sempurna dari itik jelek rupa, Aura Amanda adalah wujud sempurna dari angsa. Bahkan, Aura Amanda sudah menjadi angsa sejak lahir. Ia seperti tidak pernah mengalami frase mengelap ingus, jerawatan atau bahkan salah memilih baju. 

Segala yang ada di dirinya adalah perwujudan keanggunan itu sendiri, seakan-akan ketika Tuhan menciptakan Aura, Tuhan sedang mendefinisikan kata elegan itu sendiri. Ia memiliki tubuh cukup tinggi dan langsing untuk menjadi model, ditambah dengan mata indah, hidung mancung, kulit putih bersih blasteran Cina-Sunda, dan yang paling penting, memiliki senyum terindah di Egan.

Wajahnya mungkin bukanlah yang tercantik di Egan, masih ada beberapa cewek yang dianugerahi kecantikan lebih dari Aura. Namun sementara gadis-gadis yang lain memanfaatkan kecantikannya untuk merengek pada cowok, bersikap seperti drama queen dan merasa dirinya supermodel, Aura tetap lembut rendah hati seperti Lady Di. Apalagi ketika matahari berada di belakangnya. Ia seperti menjadi matahari itu sendiri. Itulah yang membuat Aura disukai semua orang, termasuk Katrissa. 

Di belakang Aura, Milani Atmaja mengikuti. Ia berusaha berjalan seanggun mungkin seperti Aura, tetapi gadis itu hanya akan selalu menjadi fotokopi buram Aura. 

Dari segi wajah, Milani itu sebenarnya cantik, berkat mamanya yang punya darah separuh bule Inggris. Tetapi pada saat yang sama, Milani mewarisi tubuh mamanya yang besar dan gampang gemuk. Akibatnya, segala sesuatu yang seharusnya terlihat cantik di wajah Milani jadi terlihat besar: matanya, hidungnya, dan juga bibirnya. Lebih parah lagi, betapapun kerasnya usaha Milani untuk menurunkan berat badannya, ia tidak akan pernah seramping Aura. 

Untung Milani dan Aura sudah bersahabat sejak SMP dan juga keluarga Milani merupakan salah satu keluarga terkaya di Egan. Jadi Milani tidak pernah mengkhawatirkan posisinya, termasuk ketika Aura memutuskan untuk mengajak Katrissa bergabung dalam clique mereka di akhir tahun pelajaran kemarin. 

“Pagi, Aura. Milani,” Katrissa berusaha terdengar seceria mungkin.

Aura mengabaikan Katrissa, memandang tajam pada Langit. Aura mungkin baik hati, tetapi ia juga menarik tegas batas pergaulan. Baginya itik dan angsa tidak pernah boleh bertemu –kecuali terpaksa dan Aura punya daftar situasi terpaksa itu– atau dunia akan kiamat. Di matanya, Langit jelas-jelas melanggar batas itu.

“Ah,” Langit seperti sadar arti lirikan Aura. “Gue cuma nganterin Katrissa. Kasihan dia bawa barang seberat ini. Cowok yang baik harus ngebantuin cewek, kan?”

“Dan cowok yang baik juga sadar diri akan posisinya,” sindir Aura tajam. 

“Makasih, Langit,” Katrissa mengambil boks cokelatnya dari pelukan Langit. Ia tidak ingin membuat Langit terlibat masalah lebih jauh. “Gue bawa sendiri aja. Kelas udah dekat.”

Langit mengalah. Ia melambaikan tangannya pada gadis itu seraya berjalan menjauh. “See you again, Katrissa.”

Like never!” Milani berkacak pinggang. Ia memutar bola matanya, seakan tidak percaya paginya yang indah ini harus dirusak dengan melihat Langit.

Aura mendesah perlahan. Suaranya terdengar lembut, tetapi terasa ada tuntutan keras di dalamnya. “Please deh, Rissa. Lo tuh harus cepatan punya pacar. Bahaya banget jadi cewek populer tanpa pacar. Lo bisa menarik makhluk-makhluk yang tidak diinginkan kaya’ si aneh tadi itu.” 

“Langit. Namanya Langit, Aura.” 

Katrissa berjalan menuju kelasnya. Ia melempar tasnya sembarangan dan menuju ke proyektor di depan kelasnya untuk mulai menyiapkan presentasinya. Ditha, teman satu kelompoknya, segera membantunya. Hanya Aura yang seperti biasa terlihat tidak peduli. Padahal poin untuk presentasi ini besar artinya untuk mereka. 

“Nggak tahu, deh Aura. Gue belum mikirin hal itu.”

Aura langsung tertawa begitu mendengarnya. “Belum mikirin? Katrissa, lo tuh udah jadi salah satu cewek terkeren di Egan, yang artinya lo bisa menggaet cowok mana pun yang suka dan lo belum memutuskannya siapa yang kudu mendampingi lo?” 

Katrissa ingin membantah bahwa ia tidak ingin diburu-buru dalam masalah pacaran. Tetapi Aura malah berjalan ke depan kelas dan berkata, “Guys! Siapa yang mau jadi cowoknya Rissa?”

“Aura!”

Di luar dugaan Katrissa, hampir semua cowok di kelasnya langsung mengangkat tangannya. Ya ampun. Memalukan sekali. Sekarang ia lebih mirip sapi yang hendak dilelang. 

See, Rissa?” Aura mendekati Katrissa dan berbisik padanya. “Cowok itu sekarang ngerebutin elo. Walaupun emang sih di sini hanya ada satu atau dua yang pantes buat lo, sih.  Kaya’ Malik si Arab campuran itu atau Felix yang kemarin main sinetron itu. The point is…”

“Aura!” potong Katrissa, berusaha menutupi rasa malunya. “Pikirin dulu soal presentasinya!”

Aura mengikuti gaya bicara Katrissa dengan jengkel. Katrissa tidak peduli. Ia lebih memikirkan bagaimana caranya agar power point yang dibuatnya semalam bisa tampil di proyektor.

Dan kemudian, bel sekolah tanda pelajaran dimulai berbunyi.