Catatan Dunia Menulis dan Kreativitas

17 May 2005

Ada Badai Hari Ini

12:09 AM Posted by dee , No comments
Badai sudah dimulai sejak subuh. Angin menghembuskan apapun yang tergeletak di tanah lalu membantingnya ke seluruh penjuru. Hujan mencurahkan isi seluruh perutnya dan mengguyur semua sudut bumi tanpa tersisa. Tapi badai sesungguhnya baru dimulai setelah jam 7.30 saat sebuah lengkingan Pita yang maha dasyat menggelegar.

"Huaaa...Aku terlambaaat!" Pintu depan terbanting. Pita berlari-lari kecil menembus hujan, menuju mobil kijang hijau tuanya. “Kenapa nggak ada yang membangunkan aku?"

Di belakangnya, Wini, kakak perempuannya, mengekori Pita dengan bocah laki-laki lima tahun menggenggam tangan kanannya.

"Kamu sudah dibangunin setengah jam yang lalu. Tapi kamu malah teriak lima menit lagi, lima menit lagi. Ya udah." Ia melirik jam tangannya. "Aku harus berangkat. Titip Andre, ya!"

"Aku ini mau ngejar dosen! Aku tidak bisa bawa bayi! Andre, turun!" Pita menarik keponakannya yang mulai merayap naik ke jok mobil. "Lagipula hari ini adalah wawancara kerja pertamaku!"

"Tapi kamu sudah janji, Pita!" tuntut Wini. "Selama aku kerja shift pagi kamu menjaga Andre!"

"Iya, tapi ini beda! Hari ini kesempatan terakhirku untuk mengejar dosen karena besok aku sudah harus mengurus administrasi sidang. Kalau terlambat, aku harus menunggu sampai semester depan!"

"Kalau aku tidak bekerja hari ini, aku akan dipecat!"

Tanpa menghiraukan protes Pita, Wini pergi meninggalkan Pita tak tahu apa yang harus ia perbuat pada keponakannya. Seakan bisa membaca kebingungan tantenya, Andre berkomentar, "Mekdanel!"

"Nggak ada McDonalds-McDonalds-an!" tegas Pita sembari menyeret Andre ke tetangga sebelah, Mimi, janda dengan satu anak seumuran Andre.

*

Dengan wajah tegang dan kecepatan penuh Pita memacu mobil tuanya menuju rumah Bu Sania sambil sibuk merapal doa. Siapapun di kampus tahu kalau Bu Sania paling ketat dalam masalah waktu, terlambat lima menit saja, ia sudah menyembur seperti letusan gunung berapi.
Tapi mungkin Tuhan sudah bosan mendengar do’a yang sama setiap pagi. Karenanya, begitu Pita sampai di rumah bu Sania, yang ia temukan justru pembantunya.

"Ibu ke kampus." Dari balik pagar, pembantu Bu Sania menjelaskan. "Tapi habis itu langsung ke Jepang. Adiknya kecelakaan."

Mata Pita langsung membulat. Mendadak bayangan ia harus gentayangan di kampus satu semester lagi menghantui dirinya.

"Apa?" teriaknya tak kalah keras. "Naik pesawat jam berapa?"

"Tidak tahu. Telepon saja HP Ibu."

Pita menggerutu. Begitu pantatnya menyentuh jok supir, ia langsung menelpon Bu Sania hanya untuk mendengar suara manis dari mailbox. Hampir saja ia melempar HP-nya kalau saja tidak ingat ia bisa memperoleh barang itu setelah perjuangan merayu ayahnya selama tiga bulan.

"Kenapa sih selalu saja ada masalah pada detik-detik terakhir?" Ia melampiaskan kekesalannya dengan cara menggetok kepalanya ke stir mobil. Sakit! "Oke. Tenang, Pita." Gadis berambut sebahu itu menarik nafas panjang-panjang. "Semuanya belum berakhir. Berpikir. Gunakan kepalamu. Apa yang harus kau lakukan sekarang?"

Gadis itu melirik jamnya. Jam 10 pagi. Ia sibuk berhitung. Untuk ke kampus ia membutuhkan waktu satu jam. Iya kalau ada di kampus, kalau dosen itu gentayangan entah kemana? Wawancara tinggal lima belas menit lagi. Kalau ia ke kampus, ia akan kehilangan wawancara kerja. Sebaliknya kalau ia memburu dosennya ke kampus, belum tentu ia berhasil. Mungkin lebih baik, ia menghadangnya ke bandara sekalian. Hmm, kalau tidak salah penerbangan ke Jepang itu sore.

Pita menstater mobilnya dan menurunkan rem tangannya.


TK Tunas Kasih biasanya terlihat ceria, penuh dengan gelak tawa anak-anak. Namun pagi yang kelam ini telah mengganti keceriaan itu dengan warna kelabu. Persis dengan warna suasana hatinya. Karena hujan, banyak anak-anak yang masih berkeliaran di koridor sekolah dengan suara yang tak kalah seru dari hujan dan derap langkah kaki mereka merambat hingga ke dalam ruangan kepala sekolah. Tuhan! Pita ingin sekali mencekik mereka satu persatu.


"Mbak Pita, Anda punya pengalaman menjadi guru renang?"


Mendengar namanya disebut, Pita langsung tersenyum. Di depannya, seorang perempuan setengah baya berkerudung membetulkan letak kacamata tebalnya.


"Dapat dikatakan saya adalah guru renang bagi keponakan saya sendiri. Namanya Andre. Lima tahun. Ibunya, yaitu kakak saya, seringkali menitipkan Andre pada saya. Jadi bisa dikatakan saya juga terbiasa menangani anak-anak."


Mata kepala sekolah itu naik turun menatap Pita membuat gadis itu bertanya-tanya, apakah ia percaya pada bualannya.


Belum sempat ia mengajukan pertanyaan berikutnya, pintu ruangan terbuka dan seorang guru masuk.

"Maaf, Bu. Mengganggu sebentar." Ia memberikan kode agar sang kepala sekolah keluar.

Sang kepala sekolah tersenyum tipis pada Pita sebagai kode permisi sebentar. Saat itulah HP Pita berbunyi. Pita seharusnya mematikannya karena ia baru berada dalam wawancara pekerjaan yang penting, tapi itu telepon dari Mimi.


"Aku tak tahan lagi!" sembur Mimi. “"Kamu harus menggambil keponakanmu sekarang juga! Dari tadi ia membuat badai sendiri di dalam rumahku!"


"Aku nggak bisa! Aku lagi wawancara kerja!" Pita berusaha menekan suaranya jangan sampai terdengar hingga keluar.


"Mekdanel! Mekdanel! Andle mo Mecdanel!" Pita geram. Ia tahu betul suara siapa itu.


"Mamaaa...Andle jahaaat. Boneka Putli..."


Kekesalannya memuncak hingga akhirnya ia tak bisa menahan dirinya untuk berteriak, "Kalo nggak bisa diam, sumpal aja mulut tuh anak!"


Itu menjadi saat yang paling tak terlupakan dalam hidup Pita. Tepat setelah ia melepaskan kalimat terakhir, sang kepala sekolah masuk, menatap matanya dengan pandangan tak percaya dan mulut ternganga. Inikah gadis yang berani mengklaim bahwa ia mencintai anak-anak?

Pita mencoba untuk tersenyum, tapi terasa sangat hambar. Satu hal yang pasti, ia baru saja menghancurkan wawancara pertamanya.


Dengan wajah suram, Pita menjemput Andre. Mimi kelihatan kesal sehingga Pita harus berjanji akan memberi ganti rugi sebelum mereka pergi. Sepuluh menit kemudian mereka sudah berada di 'Mekdanel'. Andre kelihatan senang. Dengan lahap ia menghabiskan makanannya sementara Pita lebih suka mempertanyakan apa dosanya hingga hari ini ia begitu sial.


Hujan tentu saja tidak bisa menjawab karena mulai reda meski awan hitam masih menggantung di langit. Pita justru menyaksikan kehadiran seseorang yang tidak ia harapkan.


Rama! Pemuda incaran Pita di kampus itu melangkah keluar bersama seorang gadis. Pita terkesima menyaksikan betapa akrabnya mereka.


Oke, tenang, Pita. Mungkin gadis itu adiknya. Tidak, tidak mungkin Rama tidak punya adik. Sepupu? Keponakan? Tetangga? Teman dekat? Atau teman yang sangat-sangat dekat?


Suhu tubuh Pita langsung naik sekian derajat. Sebelum sempat keponakannya menyelesaikan makannya, Pita sudah menarik tangannya menuju tempat parkir.


"Mekdanel!" jerit Andre tidak ikhlas melihat ayamnya masih tersisa seperdelapan.


*


Pita yakin alam sedang mempermainkannya saat ini karena tepat mereka keluar dari mall, hujan kembali turun. Jangankan untuk mencari tahu apa yang dilakukan keduanya di dalam mobil, untuk terus dapat mengikuti sedan putih itu pun ia kesulitan.


Mobil itu dengan lincah menyalip sebuah bus. Apakah mereka tahu? Tidak mungkin. Ia kan sudah menjaga jarak sejauh dua mobil. Sedan itu semakin cepat bergerak. Tentu saja mobil tua Pita bukan tandingannya.


"Tungguin! Nggak sopan! Dibuntutin malah kabur! Nggak tahu susahnya jadi penguntit, ya!"

Lampu kuning. Pita tahu sekian detik lagi, lampu berubah merah. Insting pertama Pita berkata, terobos saja. Ia tidak bisa kehilangan mereka. Tapi di detik-detik terakhir, ia justru berhenti, membuat mobil dan bis di belakangnya marah. Pita tidak peduli. Gadis itu justru menarik nafas dalam-dalam karena lega. Sebuah mobil yang menerobos lampu merah diberhentikan polisi. Di bawah hujan, mereka sibuk bertransaksi.


"Mekdanel lagi ya, Tante."


Pita melirik Andre dengan kesal. Bukannya ikut prihatin, monster kecil itu justru sibuk melempar-lempar sebuah buku. Tunggu dulu. Bukan, itu bukan buku. Itu skripsinya! Ya Tuhan! Sial! Sial! Sial! Kenapa ia malah sibuk mengejar Rama. Tujuannya hari ini kan mengejar dosen!

Pita langsung panik. Di belakangnya, mobil dan bis kembali meneriakinya karena lampu telah berubah menjadi hijau.


"Iya! Sebentar! Dasar cerewet!" Pita masuk ke gigi satu dan mulai berjalan.


Berpikir, Pita. Berpikir. Kamu tidak mungkin ke kampus. Sekarang sudah jam dua. Satu-satunya jalan adalah....


Pita langsung pindah jalur yang membawanya ke jalan tol. Sekali lagi kuda-kuda besi yang ada dibelakangnya meneriakinya karena gerakannya yang mendadak.


"Kita kemana, Tante?" Mata Andre berbinar mengikuti kecepatan kijang Pita seperti orang kebelet membuang hajat.


"Diam saja!" perintah Pita.


Dengan manuver mendadak, ia mendahului sebuah truk gandeng. Andre tertawa senang. Baginya ini lebih baik daripada naik roller coster.


"Lagi! Lagi!" teriaknya memberi provokasi.


Angin bertambah kencang. Hujan bertambah deras. Pita tak sedikitpun mengurangi kecepatannya. Ia bisa saja tergelincir atau menabrak mobil atau dua-duanya. Tapi saat ini yang ada di pikirannya hanya satu. Rama. Bukan! Bukan! Kenapa saat seperti ini pemuda itu masih saja bercokol di kepalanya.


Skripsi, Pita. Pikirkan tentang skripsi! Kamu tidak mau terjebak satu semester lagi di kampus, kan!

Jam sudah menunjukkan 14.30 ketika kijang tuanya memasuki jalan tol Prof. Sediyatmo. Stok kesabaran Pita semakin menipis. Ia berusaha menyalip setiap kali ada kesempatan. Bila tidak, ia melampiaskannya dengan klakson panjang dan omelan yang lebih panjang lagi.


Sayangnya mobil tua Pita tidak bisa mengimbangi semangatnya yang luar biasa. Mendadak, asap putih muncul dan semakin menghalangi pandangannya. Semula Pita mengiranya sebagai kabut, tapi kenapa munculnya dari kap mobil? Belum lagi selesai keheranan Pita, kijangnya melompat-lompat seperti kelinci cegukan sebelum akhirnya berhenti total di bahu jalan.


Pita terbengong-bengong. Mendadak otaknya menjadi kosong. Ia tidak tahu apalagi yang harus ia lakukan. Di sini, di tengah hujan badai, mobilnya mogok sementara dosennya akan pergi ke negeri orang hanya dalam hitungan menit.


Tiba-tiba gadis itu merasa energinya telah habis. Ia lelah berlari kesana-kemari hanya untuk mengejar dosen yang tak ada, melakukan wawancara yang gagal total, mengurus monster kecil ini dan sekarang di penghujung hari, mobilnya rusak. Pita tak kuat lagi. Airmatanya mulai mengalir dan tak lama kemudian tangisnya pecah.


"Tante jangan nangis." hibur Andre. Pita mengangkat kepala dan menemukan setan kecil itu telah berubah menjadi malaikat. Bocah itu tersenyum dan menggenggam hangat tangannya, membuat beban Pita sedikit terangkat.


Hari itu, Pita mengira segalanya telah berakhir. Tapi hidup memang aneh, di kala kita berpikir segalanya sudah hancur, justru saat itulah pertolongan datang meskipun itu berupa sebuah ketukan di kacanya. Pita menurunkan kacanya, darahnya terasa berhenti mengalir.


Rama?


"Pita!" Ia tersenyum. "Aku sudah mengira yang mogok itu pasti kamu. Habis tidak ada yang bisa menyerupai mobil tuamu itu. Kamu baik-baik saja?"


"Mobilku mogok. Emang itu kelihatan baik?" Pita membalas senyumnya.


Rama ikut tertawa. Ya, Tuhan. Pita rela mengalami hari buruk seperti ini sekali lagi hanya untuk melihat tawa iklan odolnya itu.


"Tunggu sebentar. Kutelponkan mobil derek. Ngomong-ngomong ngapain kamu disini?"


"Ngejar Bu Sania. Aku dengar dari pembantunya dia mau Jepang. Aku harus minta tanda-tangan persetujuan skripsi. Kamu sendiri?"


Telinga Rama seakan tak percaya ketika mendengarkan jawaban itu.


"Wah, ini pasti sudah takdir kita bertemu di sini! Percaya atau tidak aku sedang mengantarkan Bu Sania ke bandara. Ia tanteku."


Dagu Pita langsung jatuh. Tidak! Ini tidak mungkin terjadi.


"Ayo. Kuantar kamu ketemu tanteku. Hujan-hujanan sedikit nggak pa-pa kan?"


Pita seakan tak mempercayai keberuntungannya. Setelah apa yang terjadi hari ini, segalanya menjadi mudah. Sangat mudah bahkan. Bu Sania sama sekali tidak marah melihatnya. Ia bahkan meminta maaf padanya. Karena panik, ia benar-benar lupa akan Pita.


Soal gadis yang ia lihat berjalan mesra dengan Rama itu, Pita juga tidak perlu khawatir lagi. Ia ternyata juga masih terbilang keluarga Rama.


"Kamu mau ikut mengantar sampai bandara?" tawar Rama setelah acara tanda tangan selesai. Hati kecil Pita menjerit kata mau sampai sepuluh kali. Rasanya berat sekali ketika ia harus menolak.


"Aku kan harus menunggu mobil derek."


"Oh iya." Rama terlihat kecewa. "Tunggu saja di gerbang tol. Aku akan menjemputmu."


Saat itu juga Pita ingin melompat-lompat seperti kanguru, tapi ia baru melakukannya setelah sedan putih itu hilang dari pandangannya.


"Andre! Sini, Sayang!" teriaknya. Ia berlari memeluk keponakannya yang turun dari mobil. Keponakannya berusaha mengelak tapi Pita lebih cekatan. Wajah Andre habis dilumat kecupan Pita.

Hujan mulai reda dan pelangi muncul di ufuk sore, tapi itu semua tak sebanding dengan kebahagiaan Pita saat ia melaju di atas mobil derek. Semua penderitaannya terhapus sudah. Ia bahkan berharap hujan turun sekali lagi agar bila Rama menjemputnya, ia bisa menjalankan mobilnya pelan-pelan. ***


(To My Cicle of Friends: May You All Get The Best And May The Best Gets You)