Catatan Dunia Menulis dan Kreativitas

11 September 2014

BEAUTIFUL LIAR - BAB PERTAMA

12:52 AM Posted by dee 8 comments
 Cuplikan novel "BEAUTIFUL LIAR", salah satu pemenang Lomba Menulis Novel Gagas Media dengan tema Seven Deadly Sins.

# 1

A Little Trick

Papa di mana? Apa Papa tahu setiap meter jarak yang memisahkan Lulu dari Papa bikin Lulu semakin menderita?


Gue nggak mau tahu, pokoknya sekarang kita putus!”

Ada banyak suara yang memenuhi area kedatangan Bandar Udara Soekarno Hatta; gemuruh pesawat yang sesekali melintas, suara tangis dan tawa penumpang, ataupun geretak puluhan koper yang diseret di atas lantai. Namun, hanya suara mendengking gadis itu yang mampu membuat Lunetta mengangkat kepalanya. Seorang gadis muda berambut cokelat berjalan mondar­-mandir dengan ponsel di telinganya, sementara tangan kanannya menggenggam gelas ice cappuccino yang
hampir habis.

Sebenarnya gadis itu lumayan cantik. Usianya tidak jauh dari Lunetta, mungkin sekitar tujuh belas atau paling jauh baru awal masuk kuliah. Rambutnya di­blow, makeup­nya sedikit berlebihan tetapi masih bisa dimaafkan, dan selera bajunya lumayan bagus, meskipun masih tergolong penampilan sejuta umat.

Ia mengenakan hot pants warna tosca dari Mango, berpadu dengan atasan putih berenda dari Forever 21 sementara tas cokelat selempang mungilnya keluaran terbaru dari Zara, cocok dengan wedges dari Charles and Keith. Namun, semua itu dirusak dengan nada bising yang keluar dari bibir warna apricot­nya.

“Kan gue udah bilang gue bakal nyampe pukul dua. Ya gue nggak peduli lo kudu bolos kuliah. Kalau gue bilang datang sekarang ya datang sekarang. Enggak!” Ia menyalak. “Gue nggak bilang gue datang pukul empat. Gue bilang datang pukul dua. Lo mau ngebantah gue?”

Ia melempar wadah minuman plastiknya ke arah tempat sampah. Gagal. Gelas plastik itu memantul di pinggir tempat sampah dan menggelinding. Airnya yang masih tersisa menetes keluar dari penutupnya, membasahi lantai bandara yang merah kecokelatan. Tanpa peduli pada nasib si gelas plastik, ia meneruskan pembicaraannya.

Lunetta melirik tajam gadis itu. Ia benci melihat orang yang buang sampah sembarangan.

“Nggak usah. Lo nggak usah kemari. Gue nggak mau ketemu sama lo. Kita selesai sampai di sini aja.” Gadis itu menutup ponselnya, tersenyum puas. “Mampus, lo. Gue mau lihat lo nyembah­nyembah minta balik ke gue.” Gadis itu kemudian menekan nomor telepon lain.

Lunetta mengangkat alis, terkejut mendengar nada suaranya yang tadinya begitu marah berubah menjadi manja, seakan­akan ia adalah nenek sihir yang mendadak berubah menjadi ABG berusia 16 tahun.

“Radin sayang, lo dah nyampe di mana sekarang? Oh,udah ada di tol bandara? Cepetan datang, ya, Sayang. Iya, gue nggak sabar banget pengin ketemu sama lo.”

Tanpa sadar gadis itu menyibakkan rambut di atas telinganya, memperlihatkan arloji yang melingkari pergelangan tangan kanannya. Jam tangan yang cantik, pikir Lunetta. Warnanya putih mengilap, dihiasi beberapa butir berlian mengelilingi permukaan jamnya sementara di bagian dalam, terlihat hiasan bunga merah yang semakin menegaskan kemewahannya. Trendi sekaligus mahal.

Lunetta mengerutkan dahinya, mencoba berpikir di mana ia pernah melihat jam tangan seperti itu. Di situs fashionista? Di majalah fashion terbaru?

Gadis norak itu terkikik kecil saat menutup koneksi ponselnya, seperti anak kecil yang baru saja sukses mencuri kue kering dari lemari dapur ibunya. Baru kemudian ia sadar seseorang tengah memperhatikannya.

“Kenapa lo?” Ia menatap Lunetta dengan dagu terangkat. Seulas senyum sombong terukir di bibir nya. “Ngiri, kan, lo karena nggak bisa punya dua gebet an sekali gus kayak gue?”

Lunetta menggeleng. Ia menunjuk ke arah jam tangan yang dikenakan sang gadis.

“Jam tangan itu…,” Lunetta menggigit bibir bawahnya. “Itu keluaran terbaru dari Shiondra Simone, kan? Seri Venus, kan?"

“Iya. Ini baru saja launching di New York seminggu lalu. Hadiah dari cowok gue.” Gadis itu tersenyum bangga.“Atau lebih tepatnya, mantan gue.”

“Sudah berapa lama kamu pakai jam tangan itu?”

Gadis itu menatap Lunetta, ia baru menyadari ada ekspresi kekhawatiran di wajah Lunetta. “Memangnya ke­napa?”

“Kamu nggak tahu? Aduh, gimana sih kamu. Padahal di Twitter ramai banget.”

“Ramai gimana?”

“Shiondra Simone itu lagi dituntut di Amrik. Di sana, sudah ada tiga cewek yang tewas setelah dua hari memakai seri Venus itu. Di Inggris sudah satu. Tadi pagi, malah ka­tanya sudah ada cewek Singapore yang koma.”

“Maksud lo apa?” Suara gadis itu meninggi, wajahnya memucat karena panik.

“Seri Venus itu dibuat dari bahan khusus yang belum tuntas diteliti. Ternyata bahan itu kalau kena keringat, la­ma-­lama akan membentuk racun yang akan terserap kulit. Racun itu menyerang otak dan berakibat koma, bahkan ke­matian.”

“Enggak... enggak mungkin!” Ia menggelengkan kepalanya berkali­-kali.

“Aku nggak bohong.” Lunetta menggeser posisi du­duknya, menjauhi gadis itu, seakan takut gadis itu telah beru­bah menjadi sumber penyakit menular. “Apa selama dua hari ini kamu nggak merasakan sesuatu? Gatal saat memakainya atau tenggorokan kamu sakit? Kepala kamu pusing, nggak? Reaksinya mungkin muncul dalam dua hari….”

Gadis itu terperangah. “Se­sebenarnya kemarin gue ngerasa kepala gue mendadak pusing. Udah gitu tadi pagi pas di pesawat, tenggorokan gue rada sakit….”

Lunetta membelalakkan matanya. “Itu!” Ia menekan­kan nadanya. “Itu salah satu tanda­-tandanya.”
“Nggak mungkin.” Gadis itu semakin ketakutan, ia se­perti menyadari bahwa tiba­-tiba saja ia memakai bom yang dapat meledak setiap saat. “Aduh, tolongin gue dong. Gue harus gimana sekarang?”

“Kalau kamu nggak cepat­cepat melepas jam tangan itu….”

Ketakutan gadis itu sampai ke puncaknya. Gadis itu menjerit seraya berusaha melepaskan jam tangannya. Dalam kepanikannya, ia melemparkan jam tangan itu ke tempat sampah, tepat langsung ke sasaran. Lunetta cepat-­cepat mengeluarkan tisu basah dari kantong tas selempangnya.

Berkali­-kali ia mengusap tangan kanan gadis itu, membantu membersihkan tangannya.

Lunetta menatap gadis itu dengan mata khawatir. “Nah sekarang, mendingan kamu cepat bersihin tangan di toilet.Cuci sepuluh kali pakai sabun. Ntar kalau masih terasa gatal atau nggak enak, kamu cepat­-cepat ke UGD.”

Gadis itu mengangguk ketakutan, dan bahkan berte­rima kasih kepada Lunetta. Cepat­-cepat ia berlari menembus kerumunan penumpang menuju toilet yang terletak jauh di salah satu sudut bandara. Lunetta menatap gadis itu dengan cemas. Begitu gadis itu tak terlihat dari pandangannya,
ekspresi Lunetta berubah. Gadis itu mengangkat dagunya, mengukir senyum kemenangan.

“Dasar cewek bego,” desis Lunetta. “Baru bisa mainin cowok aja sudah bangga.”

Dengan langkah ringan, Lunetta berjalan menuju tem­pat sampah, memasukkan tangannya untuk meraih jam tangan yang tergeletak di sana. Permukaan jam tangan itu sedikit basah, barangkali terkena sisa tum pahan minuman di dalam di sana. Tetapi tidak masalah. Lunetta mengenakan
jam tangan cantik itu dan ter senyum puas.

“Lumayan,” katanya.

Lunetta berani menjamin korbannya akan mengamuk saat menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Namun, pada saat itu, Lunetta sudah jauh pergi. Lagi pula, cewek seperti itu pasti tidak akan kesulitan mendapatkan lelaki yang mau membelikannya jam tangan baru. Selalu ada lelaki bodoh yang mau saja dikerjai perempuan seperti itu.

“Lulu….”

Lunetta terkesiap, tidak menduga ada seseorang yang memanggil namanya. Untuk sesaat, ia mengira gadis bodoh itu kembali dan tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Tetapi, itu tidak mungkin terjadi, kan?

Saat Lunetta menoleh, ia mendapatkan mamanya ber­diri di belakangnya. Lunetta menarik napas lega. Mama begitu mirip dengan dirinya, bahkan bisa di katakan, versi lain dirinya. Hanya saja, Mama memiliki beberapa kerutan di wajahnya. Dia juga memotong rambut hitam legamnya hingga sepundak, dan yang paling menyebalkan, memiliki perut yang menggelembung karena hamil.

Melihat mamanya hamil, Lunetta hanya bisa berdecak kesal. Sudah lebih dari tiga tahun ia tidak bertemu dengan mamanya. Sejak mama dan papanya resmi bercerai, Lunetta tinggal bersama Papa. Lunetta selalu menipu dirinya bahwa mamanya tidak mungkin mengkhianati papanya. Mungkin Mama sedang khilaf. Mungkin Mama kelak akan menyesal telah menceraikan Papa. Mungkin suatu saat mereka bertiga akan bersatu kembali dan keluarga kecil mereka akan baha­gia lagi.

Namun, dua tahun yang lalu, Lunetta harus menya­dari bahwa impiannya tidak mungkin terwujud. Mama­nya menikah lagi dengan seorang dosen universitas swasta yang kabarnya sudah menjabat sebagai dekan fakultas nya.

Dan sekarang, Mama berdiri di hadapannya dalam kondisi hamil tua. Ia semakin membenci mamanya. Seandainya saja Papa tidak memaksanya, Lunetta tidak akan sudi berada di
Jakarta. Ia seribu kali akan memilih bersama papanya.

“Coba Mama lihat wajahmu, Lulu. “

Lunetta ingin mengelak, tetapi Mama lebih cepat me­raih pipinya. Lunetta terpaksa diam, membiarkan Mama mengamati wajahnya. Ada air mata mengalir di wajah Mama. Mama mengelus pipi Lunetta, menarik napas lega kemudian memeluk putrinya. Pelukan itu terasa aneh bagi Lunetta, seakan­-akan ia tengah dipeluk oleh orang asing yang kebetulan lewat.

"Untung semakin lama kamu semakin mirip Mama, tidak seperti papamu.” Mama tersenyum bahagia.

Mendengar itu, Lunetta langsung melepaskan pelukan mamanya. Ia tidak suka jika Mama mulai mencela papanya. Memang kenapa kalau dia mirip papanya? Dia, kan, me­mang anak papanya.

“Mama, bisa kita pergi sekarang?” Lunetta mengalih­kan topik pembicaraan.

“Iya, tentu saja.” Mama menghapus air matanya.

“Mama sampai lupa kalau Pak Tono sudah menunggu kita. Mana barang-­barangmu?”

Lunetta menunjuk sebuah koper ber ukuran sedang ber­warna biru muda dan sebuah tas selempang cokelat yang tergeletak di sampingnya. Lunetta tidak memiliki banyak barang. Hidup ber sama Papa mengharuskannya untuk me­miliki barang yang ringkas dan mudah dibawa ke mana­-mana. Namun, Lunetta tidak pernah keberatan dengan itu semua. Setidaknya hidup bersama Papa selalu seru. Papa
juga tidak akan mengurungnya dalam sangkar seperti yang akan dilakukan oleh mamanya.

Dengan enggan, Lunetta menarik kopernya, membiar­kan roda-­roda kecil kopernya menggilas lantai bandara. Mama membawakan tas selempang Lunetta yang tidak se­berapa berat. Sebenarnya, Mama tidak perlu me lakukannya, tetapi dia bersikeras. Tatapan Mama jatuh ke pergelangan
tangan putri tunggalnya.

“Jam tangan baru?”

“Ya gitu deh, Ma.” Sekarang giliran Lunetta untuk ter­senyum tipis.

Lunetta bertanya­-tanya bagaimana reaksi mamanya kalau beliau tahu apa yang baru saja terjadi. Ia menduga mamanya akan langsung marah besar. Bahkan jika ia ber­untung, mamanya akan langsung mengembalikannya ke­pada Papa. Namun, satu hal yang Lunetta yakin, Papa pasti akan bangga kalau tahu kejadian tadi.

Lunetta dan mamanya berjalan menuju lapangan parkir. Pada saat yang sama, sebuah bus tur berhenti dan menurunkan isinya, satu rombongan tur yang lebih ramai dari pada seratus bebek yang berbunyi secara bersamaan.

Itu adalah perlindungan alami bagi jejak Lunetta. Sekilas, Lunetta menoleh ke belakang, ke arah bangku panjang ber­warna cokelat, tempatnya menunggu berdiri tadi. Gadis berbibir apricot itu telah kembali. Sayang, dari jaraknya, Lunetta tidak bisa melihat ekspresi wajahnya—yang pastinya marah besar. Lunetta hanya bisa membaca gerakan tubuhnya. Gadis itu men gentakkan kaki, menyadari
Lunetta tidak ada lagi di sana. Ia berlari menuju tempat sam­pah, dan membongkarnya seperti orang gila. Saat ia tidak berhasil menemukan jam tangannya, gadis itu memekik marah dan kemudian menendang tong sampah yang tidak bersalah itu. Di belakangnya, seorang satpam hanya bisa
menggaruk kepalanya, kebingungan sekaligus tidak berdaya.

Lunetta tersenyum tipis. Gadis itu boleh mengamuk sesukanya, tetapi ia tidak akan mendapatkan jam tangannya kembali ataupun menemukan siapa pe akunya. Seti­daknya, itu akan memberikannya pe lajaran kepadanya agar tidak belagu.

“Sayang banget,” komentar Mama saat mereka me­nyeberang jalan, berjalan menuju lapangan parkir tempat Honda Jazz merah dan sopir mereka telah sigap menunggu keduanya dengan pintu penumpang terbuka. “Jam baru,udah basah begitu.”