Catatan Dunia Menulis dan Kreativitas

03 November 2011

Self Publishing, Ya atau Tidak?

12:31 AM Posted by dee 3 comments
Let me read it first, then I'll let you know my opinion.

Sebenarnya, saya bukanlah orang yang terlalu mendorong self publishing. Mungkin kedengarannya sombong, tetapi saya selalu merasa kualitas buku yang dihasilkan self publishing berada di bawah standar penerbitan tradisional. Ini karena buku yang dihasilkan tanpa sentuhan tangan editor. Jadi, self publishing terlihat sebagai cara kalau sudah mentok dengan penerbit tradisional, ya udah nerbitin sendiri aja.

Akan tetapi ketika seorang teman mengajak saya untuk menerbitkan novel sendiri, saya mulai limbung. Tetapi teman saya bukanlah orang yang frustrasi karena ditolak penerbit. Dia bilang, “buat pembelajaran aja, mbak. Biar kita belajar menangani semuanya sendiri.”

Okay, saya pikir. Kenapa tidak.

Sejalan dengan itu, saya mulai mencari tahu sendiri tentang self publishing. Saya bahkan menemukan banyak buku besar yang beawal dari penerbitan sendiri. Beberapa contohnya terangkum dalam Chicken Soup for the Writer’s soul:
·        The Celestine Prophecy karya James Redfield. Ia mulai menjual bukunya dari bagasi mobilnya lebih dari 100.000 eksemplar. Akhirnya ia menjual ke Warner books dengan nilai $800.00. Ia menjadi buku terlaris nomer satu tahun 1996, berada dalam daftar buku terlaris New York Times selama 165 minggu dan terjual lebih dari 5,5 juta eksemplar. Nggak jelek buat buku self publishing, kan?
·        The Elements of Style oleh William Strunk, Jr. Buku wajib tata bahasa Inggris ini awalnya merupakan buku kuliahan Cornell University.
·        A Time to Kill oleh John Grisham.
·        The Chrismas Box oleh Richard Paul Evans ditulis dalam waktu enam minggu. Ia menerbitkan dan mempromosikannya sendiri sebelum akhirnya dijual ke Simon & Schuster seharga $4,2 juta. Buku ini mencapai peringkat teratas daftar buku terlaris Publishers Weekly dan diterjemahkan ke dalam tiga belas bahasa.

Bukan itu saja, ternyata sejumlah pengarang terkenal seperti Deepak Chopra, Mark Twain, James Joyce, D.H Lawrence, Anais Nin, George Bernard Shaw, Edgar Allan Poe, Rudyard Kipling, dan sebagainya juga menerbitkan bukunya sendiri.

So, apakah ini berarti kita harus meninggalkan penerbitan tradisional? Ya dan tidak. Ya jika kamu yakin kamu bisa menjual empat kali lebih banyak dari penerbit. Ya jika niatmu adalah untuk pembelajaran. Ya jika kamu yakin tidak ada penerbit yang mau menerima bukumu (karena pasarnya terlalu spesifik). Tetapi saya mengatakan tidak jika kamu masih pemula. Tidak jika kamu belum berjuang menembus penerbit tradisional.

Bagi saya, bekerja sama dengan editor dan penerbitan adalah sebuah pengalaman yang menarik. Kamu belajar melihat sisi pandang penerbit, belajar mengenai kelakuan toko buku, belajar promosi dan hey, siapa tahu dari editor kamu mendapatkan peluang membuat buku baru lagi.

Yang ingin saya sampaikan, jangan terlalu kaku memilih self publishing atau penerbitan tradisional. Toh pada akhirnya yang penting bagi pembaca adalah apa yang ingin kamu sampaikan.

3 comments:

  1. Menurut saya, opini orang kedua, ketiga, dst selalu berharga bagi tulisan kita. Jadi kalau pun self-publish, jangan jadikan itu pilihan utama, kecuali kalau kita sudah ngetop sengetop-ngetopnya.

    ReplyDelete
  2. Agree. :D
    Secara pribadi aku lebih prefer ke penerbitan tradisional, tetapi aku juga nggak anti dengan self publishing. Hanya karena aku lagi mencoba indie, bukan berarti indie selamanya. Kurasa dua-duanya ada lebih minusnya dan penulis silahkan memilih yang terbaik atau malah dua-duanya. :D

    ReplyDelete
  3. Self publishing menjanjikan kemudahan, bahkan kemudahan yang sangat. Sedangkan penerbit tradisional menjanjikan kompetisi dan proses. So, saya setuju dengan mbak dyah, karena penulis yg matang menurut saya adalah penulis yg udah melewati berbagai proses hingga karyanya beredar di khalayak. Bahkan ketika berhasil beredarpun, mereka masih harus berhadapan dengan ujian selanjutnya : pasar. Nice post ^_^

    ReplyDelete