Salah satu mitos yang sering dikembangkan penulis (atau penulis baru) adalah kita memerlukan mood tertentu untuk menulis. Jika suasana hati kita lagi bagus, kita bisa menulis. Jika suasana hati kita nggak bagus (alias malas), kita tidak bisa menulis. Ada juga yang harus ada pendorong mood atau mood booster, baru deh kita bisa menulis. Misalnya: harus diiringi musik, ditemani kopi atau ditemani cowok ganteng. ^_^
Benarkah demikian?
Pada awalnya, saya juga termasuk yang percaya bahwa menulis itu perlu suasana hati yang bagus. Perasaan bahwa suasana hati yang bagus itu penting menjadikan pekerjaan menulis menjadi sesuatu yang spesial. Seakan-akan penulis adalah makhluk penting yang kalau suasana hatinya tidak bagus, ia tidak bisa menulis. Dan kalau ia tidak menulis, maka tamatlah riwayat industri penerbitan.
Tetapi lama kelamaan, saya tahu saya tidak memiliki kemewahan yang bernama waktu. Waktu tidak pernah peduli akan suasana hati saya. Bagi waktu, entah ada tenggat waktu atau tidak, pilihan saya hanya dua: menulis atau tidak menulis.
Kemudian, saya mulai memaksakan diri untuk menulis. Novel tidak akan pernah terwujud hanya karena saya memikirkannya. Saya yang harus duduk di depan komputer dan mengetikkannya. Saat itulah, saya menyadari bahwa kualitas tulisan saya saat good mood ataupun bad mood sama bagusnya (atau sama jeleknya, tergantung sudut pandang kamu).
Mungkin karena saya tipe orang yang moody, pada akhirnya saya juga banyak memikirkan masalah mood itu sendiri. Mengapa sih saya enggan menulis? Apa yang membuat saya malas? Dan yang paling penting, bagaimana saya bisa mengatasi masalah mood-mood-an ini?
Dari pengalaman saya, ada tiga penyebab mengapa kamu menulis.
Kamu malas menulis ya karena kamu malas saja. Titik. Kamu tidak memiliki motivasi menulis. Kamu merasa masih banyak hal yang lebih menarik daripada menatap layar putih yang menyebalkan itu. So, kalau ini penyebab kamu malas menulis, temukan alasan mengapa kamu harus menulis. Apa cerita itu penting bagi kamu, kamu butuh eksis, butuh uang dan lain-lain. Jika kamu tetap saja tidak menemukan motivasi, berhentilah membuang waktu kamu untuk menulis.
Kamu takut karya kamu dianggap jelek. Ini adalah penyebab keengganan saya menulis. Saya takut karya saya tidak cukup bagus atau sebaliknya, standar yang saya terapkan terlalu tinggi sehingga pada akhirnya saya malah tidak menulis. Saya percaya, kebanyakan orang yang serius menulis menghadapi masalah ini. Perfeksionis.
Bagi saya, tidak mudah menghadapi hal ini. Setiap kali saya memulai karya baru, saya selalu dijangkiti penyakit ini. Cara yang saya lakukan adalah, saya membayangkan betapa menyenangkannya jika saya berhasil menyelesaikan novel tersebut. Saya membayangkan betapa cantik covernya atau betapa bahagia para pembaca saya. Hal positif seperti itu selalu bisa membangkitkan semangat saya untuk terus menulis.
Namun jika cara itu tidak berhasil, ingatlah bahwa semua tulisan pada awalnya adalah sampah (kata Hemingway, lho). Semua karya yang kamu anggap bagus merupakan hasil koreksi dan revisi berkali-kali. Semua alur cerita yang indah itu merupakan perombakan cerita berkali-kali. Dan betapapun indahnya tulisan kamu, pembaca akan menemukan cara untuk membantai tulisan kamu. Perasaan takut bukan untuk kamu hindari, tetapi kamu terima dan kamu hadapi.
Kamu nggak mood menulis karena kamu nggak tahu apa yang harus ditulis. Otak kita blank karena otak kita kekurangan gizi. Artinya, kamu kurang banyak baca buku atau kurang pengalaman hidup. Saya termasuk tipe yang sebelum membuat baca dan menonton film. Ini bukan sekedar riset, tetapi juga merupakan cara saya untuk ‘mencuri’ ide. Saya mencari novel sejenis supaya menghindari penulisan yang sama, tetapi saya juga mencari novel di mana saya bisa mendapatkan cara baru untuk menerapkan ide saya.
Kalau kamu kurang pengalaman hidup, coba memperluas pergaulan kamu, jalan-jalan untuk mencari inspirasi, bergabunglah dengan komunitas dan cari hobi lain, bukan hanya menulis. Pengalaman hidup membantu pemikiran kamu jadi lebih luas dan lebih dalam, dan semakin banyak manusia yang kamu temui, kamu semakin punya banyak bahan untuk kamu tulis.
Intinya, jangan menyerah begitu saja kalau suasana hati kamu lagi nggak bagus (terutama kalau kamu menghadapi tenggat waktu). Kamu yang seharusnya mengatur suasana hati kamu, bukan sebaliknya.
Happy Writing!
Sangat menginspirasi. :)
ReplyDelete"Kamu takut karya kamu dianggap jelek." >> Nah, ini juga yang kerap saya rasakan. Glad that I am not alone.
TFS, ya.