PROLOG
Apakah
ini neraka? Apakah lubang bumi yang paling dalam dan tidak ada jalan keluar?
Dalam remang cahaya, Katrissa menatap pintu bilik
toilet, satu-satunya hal yang
melindunginya dari bahaya yang mengancamnya saat
ini. Pintu bergambar smiley tersenyum itu bergoncang hebat
berkali-kali.
Mereka masih berteriak memanggil namanya berkali-kali, mengancamnya, memaksanya
untuk segera keluar.
“Katrissa! Keluar lo kucing buduk! Lo kira lo bisa selamat sembunyi
di situ!”
Tanpa sadar Katrissa melangkah mundur, hanya untuk
menyadari bahwa bilik itu terlalu sempit baginya untuk bergerak. Kakinya
menghantam toilet yang sudah lama tidak terpakai sementara tangannya menyentuh
ujung alat pel yang tergantung terbalik. Ia nyaris terjungkal saat salah satu
kakinya menghantam ember yang diletakkan sembarangan di sana. Bau aroma tidak
sedap, yang entah berasal dari mana, mulai menyentuh hidungnya.
Pojok derita. Begitu anak-anak menamakannya. Tempat
mereka yang tidak diinginkan. Tempat mereka yang terbuang. Dulu Katrissa selalu
meyakinkan dirinya bahwa hanya pecundang saja yang akan berakhir di tempat itu.
Bukan dirinya. Ternyata ia salah besar.
Gedoran
itu semakin menguat, terus menerus, membuat
setiap detik hidupnya di bilik itu semakin menderita. Mengapa mereka tidak
membiarkannya sendiri? Apakah penderitaannya selama ini tidak cukup?
Katrissa berusaha setegar mungkin. Tidak. Ia tidak boleh kalah. Tidak akan ia biarkan mereka tertawa penuh kemenangan. Tetapi semakin lama ia berada di sana, pertahanannya
mulai runtuh. Pikirannya mulai dipenuhi oleh hal-hal buruk yang mungkin
terjadi. Apa yang akan mereka lakukan padanya?
“Pergi kalian semua! Pergi!” jerit Katrissa tidak
tahan lagi.
“Lo pikir kami bakal ngebiarin lo di sini aja,
Kat? Nggak, Kat! Nggak kali ini! Kali ini gue akan memastikan lo nyesel pernah
hidup di dunia ini! Lo dengar itu, kucing buduk!”
“Gue nggak bisa ngebukanya.”
Terdengar suara lain. Terdengar panik.
“Ya cari alat buat buka, bego! Obeng atau sesuatu, gitu!”
Mereka
akan memaksa menjebol pintu ini. Tanpa sadar
Katrissa meremas ujung seragamnya.
Tuhan,
ini tidak mungkin terjadi. Ia adalah Katrissa,
sahabat Aura dan Milani, salah satu gadis paling populer di Eglantine High
School. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Tuhan, tolong biarkan ia bangun dan
menyadari ini hanya mimpi buruk.
Pintu telah berhenti digedor, namun kekhawatiran Katrissa
tidak berhenti ketika menyadari mereka melakukan sesuatu dengan engsel
pintunya.
Tolong, bisik
Katrissa dalam hati. Tuhan, bila Engkau
benar-benar ada, tolonglah. Tolonglah hamba-Mu sekarang juga. Aku nggak tahu
sampai kapan aku bisa tahan. Aku bakal mati. Bakal mati.
Dan
gedoran pintu itu semakin lama semakin kuat. Hanya tinggal menunggu waktu saja
sebelum akhirnya pintu itu jebol.
#1
Angsa
dan Itik
Ada
tiga hal yang tidak diinginkan Katrissa pada awal tahun keduanya di Eglantine
High School. Yang pertama adalah bertemu dengan orang yang mengingatkan pada
kehidupan tahun lalunya yang memalukan.
Yang
kedua adalah orang dari masa lalu buruk sang gadis itu bertemu dengan temannya
sekarang, teman-teman yang sejuta kali lebih keren daripada teman-teman yang
dulu itu. Ini adalah kasus yang lebih tidak enak lagi. Kaum angsa akan mulai
mempertanyakan apakah gadis angsa baru itu pantas terus menjadi angsa atau
sebaiknya dikirimkan kembali ke habitat lamanya.
Yang
ketiga sekaligus yang paling penting adalah, kedatangan murid baru yang akan
mengubah hidup si gadis angsa baru untuk selamanya.
Dan itu
semua menimpa hidup Katrissa Satin tahun ini. Atau lebih tepatnya lagi, hari
ini.
Katrissa
Satin keluar dari pintu belakang mobilnya, menarik keluar sebuah boks cokelat
besar yang berat itu. Supirnya, Pak Yon, segera
membantu nona mudanya tanpa mempedulikan mobil-mobil di belakang mereka yang
mengklakson tidak sabar.
Kadang
Katrissa merasa jengkel mengapa begitu banyak anak di Eglantine High (atau lebih sering disebut Egan) yang
merasa wajib untuk diantarkan persis sampai di depan pintu gerbang. Padahal,
kalau mereka mau berjalan sedikit saja, kemacetan di sekitar jalanan sekolahnya
tidak akan separah ini.
Lima
detik kemudian ia ingat perkataan Aura. Tidak ada selebritas yang berjalan kaki
menuju red carpet. Bagi banyak anak
Eglantine High, gerbang sekolah adalah red
carpet itu sendiri.
Dengan
susah payah, Katrissa mengangkat boks cokelatnya berisi beragam perlengkapan
presentasinya, disusul dengan sling
bag-nya yang cukup berat. Ia bertanya-tanya mengapa di sekolah sebagus ini
tidak ada jasa kurir. Atau lebih parah lagi, tidak ada teman yang mengulurkan
tangannya.
Dulu,
ia mengira dengan menjadi salah satu BFF Aura Amanda, salah satu cewek paling
populer di Eglantine High, otomatis semua orang akan dengan senang hati
membantunya. Salah besar. Tidak ada yang suka pagi-pagi
harus menjadi kuli.
Dengan
mengerang kecil, Katrissa mulai berjalan memasuki gerbang sekolahnya, mengikuti
arus puluhan siswa lain. Ia harus bergerak cepat sebelum jam pelajaran dimulai.
Ia tidak ingin nasibnya sama dengan kelompok yang presentasi minggu lalu:
mendapat sorotan tajam dari Mr. Bono karena belum siap pada saatnya.
Pagi
itu matahari terasa lebih terik daripada biasanya. Tubuh Katrissa mulai gerah,
membuat seragam Eglantine High-nya yang
berwarna cokelat mulai menampilkan titik-titik keringat di punggungnya.
Katrissa
berharap ia bertemu dengan Aura sehingga ia
bisa minta bantuannya untuk membawakan barang. Sahabatnya itu bilang ia sudah
datang itu tetapi mengapa ia sama sekali tidak terlihat batang hidungnya?
“Mau
gue bantu, Katrissa?”
Katrissa
menoleh. Sudah cukup lama Katrissa tidak melihat Langit Lazuardi dan sejujurnya, ia tidak
berharap ia akan bertemu dengannya lagi. Bukan karena dia pernah jahat padanya. Hanya saja,
katakanlah, ia jatuh di kategori yang salah. Kalau ada spesimen sempurna dari itik geeky yang membuat Aura antipasti, Langitlah orangnya.
Semua
dari diri Langit menghembuskan udara geeky.
Mulai dari kacamatanya yang berframe tebal hingga poninya yang panjang dan
diikat ke belakang dengan gelang karet. Padahal sebenarnya Langit tidak jelek.
Ia cukup tinggi, meskipun tidak
menjulang tinggi seperti tiang listrik, dan ketika ia tersenyum, seperti
yang tengah ia perlihatkan sekarang, senyumnya cukup manis. Tetapi semuanya
menguap, berkat aura geeky-nya.
“Pagi,
Langit,” balas Katrissa.
Langit
mengulurkan tangannya untuk membantu. Dengan terpaksa, Katrissa membiarkan
Langit mengangkat boks cokelatnya. Begitu enteng cowok itu membawa bawaannya
seakan-akan boks itu hanyalah segenggam kapas. Terkadang Katrissa lupa kalau
cowok lebih kuat dari cewek.
“Lo
masih ingat gue,” Langit terlihat senang.
Bagaimana
mungkin Katrissa melupakannya? Cowok itu pernah membantunya beberapa bulan yang
lalu. Ia berterima kasih untuk itu, tetapi pada saat yang sama ia juga tidak
ingin mengingatnya kembali. Itu adalah salah satu momen paling memalukan dalam
hidupnya.
“Gue
bukan tipe yang gampang lupa sama orang.”
“Baguslah
kalau begitu,” Langit berjalan menyusuri
koridor berdampingan dengan Katrissa. Berjalan seperti ini membuat Katrissa
merasa mereka seperti pasangan saja. Ia mulai gerah ketika beberapa cewek mulai
membicarakan mereka.
Katrissa berusaha menjaga jarak di antara mereka, tetapi
Langit seperti tidak mengerti. Ia malah berusaha berusaha memperkecil jarak di
antara mereka. Hebat. Semoga saja Aura tidak melihat Langit. Karena
kalau itu terjadi, kiamat akan datang. Entah pidato apa lagi yang akan
disemburkan Aura padanya.
“Katrissa,
lo lagi sibuk apaan sekarang?” Langit menoleh kepadanya.
Selain
sibuk berbelanja, ke salon atau yoga dengan Aura dan Milani? Tidak banyak.
“Biasa
aja. Emangnya kenapa?”
“Masih
suka bikin apa itu kerajinan dari kertas itu…umm...papercraft?”
Tidak
banyak orang di sekolahnya yang tahu bahwa ia menyukai papercraft. Paling hanya teman-temannya dulu di klub seni atau Ms.
Gina sebagai guru seninya. Tetapi kemudian Katrissa teringat, gara-gara insiden
paperdress terkutuk itu ia jadi
mengenal Langit. Tentu saja Langit tahu kalau ia menyukai papercraft.
“Nggak
terlalu sering. Emangnya kenapa?”
Wajah
Langit terlihat berbinar-binar ketika ia menceritakan rencananya. “Sebulan lagi
bakal ada awareness week. Tahun ini
kami berencana untuk ngangkat tema soal bullying.
Gue berharap banyak anak yang nyumbang karya seninya, jadi izin dari sekolah
bakal lebih mudah.”
“Bullying?” tanya Katrissa tidak
mengerti. “Buat apa? Di Egan kan nggak ada bullying.”
“Sebenarnya,
bullying itu banyak bentuknya. Nggak
cuma dalam bentuk ngegebukin anak baru aja, tetapi…”
“Katrissa!”
Langit
terpaksa menghentikan pembicaraannya. Katrissa tahu betul suara itu tanpa ia
harus menoleh. Dan itu adalah ketakutannya nomer dua: kala itik dari masa lalu
bertemu dengan angsa.
Sekilas fakta, tahun lalu Katrissa adalah si itik nerdy:
berkacamata, nyaris tidak punya teman. Dan kemudian, karena satu dan lain hal, ia
bertemu dengan angsa yang menaikkan derajatnya menjadi seekor angsa. Cukup
menyenangkan, sampai akhirnya ia harus bertemu dengan masa lalunya, kaum itik. Itik-itik
itu akan memandang si angsa dengan perasaan tidak rela bahwa salah satu dari
mereka telah berubah menjadi angsa. Di lain pihak, kaum angsa merasa seharusnya
semua itik itu ditangkap saja dan dijadikan bebek goreng.
Jika
Langit adalah wujud sempurna dari itik jelek rupa, Aura Amanda adalah wujud
sempurna dari angsa. Bahkan, Aura
Amanda sudah menjadi angsa sejak lahir. Ia seperti tidak pernah
mengalami frase mengelap ingus, jerawatan atau bahkan salah memilih baju.
Segala
yang ada di dirinya adalah perwujudan keanggunan itu sendiri, seakan-akan
ketika Tuhan menciptakan Aura, Tuhan sedang mendefinisikan kata elegan itu
sendiri. Ia memiliki tubuh cukup tinggi dan langsing untuk menjadi model,
ditambah dengan mata indah, hidung mancung, kulit putih bersih blasteran
Cina-Sunda, dan yang paling penting, memiliki senyum terindah di Egan.
Wajahnya
mungkin bukanlah yang tercantik di Egan, masih
ada beberapa cewek yang dianugerahi kecantikan lebih dari Aura. Namun sementara
gadis-gadis yang lain memanfaatkan kecantikannya untuk merengek pada cowok,
bersikap seperti drama queen dan merasa dirinya supermodel, Aura tetap lembut
rendah hati seperti Lady Di. Apalagi ketika matahari berada di belakangnya. Ia
seperti menjadi matahari itu sendiri. Itulah yang membuat Aura disukai semua
orang, termasuk Katrissa.
Di
belakang Aura, Milani Atmaja mengikuti. Ia berusaha berjalan seanggun mungkin
seperti Aura, tetapi gadis itu hanya akan
selalu menjadi fotokopi buram Aura.
Dari
segi wajah, Milani itu sebenarnya cantik, berkat mamanya yang punya darah
separuh bule Inggris. Tetapi pada saat yang sama, Milani mewarisi tubuh mamanya
yang besar dan gampang gemuk. Akibatnya, segala sesuatu yang seharusnya
terlihat cantik di wajah Milani jadi terlihat besar: matanya, hidungnya, dan
juga bibirnya. Lebih parah lagi, betapapun kerasnya usaha Milani untuk
menurunkan berat badannya, ia tidak akan pernah seramping Aura.
Untung
Milani dan Aura sudah bersahabat sejak SMP dan juga keluarga Milani merupakan
salah satu keluarga terkaya di Egan. Jadi
Milani tidak pernah mengkhawatirkan posisinya, termasuk ketika Aura memutuskan
untuk mengajak Katrissa bergabung dalam clique
mereka di akhir tahun pelajaran kemarin.
“Pagi,
Aura. Milani,” Katrissa berusaha terdengar
seceria mungkin.
Aura
mengabaikan Katrissa, memandang tajam pada Langit. Aura mungkin baik hati,
tetapi ia juga menarik tegas batas pergaulan. Baginya itik dan angsa tidak
pernah boleh bertemu –kecuali terpaksa dan Aura punya daftar situasi terpaksa
itu– atau dunia akan kiamat. Di matanya, Langit jelas-jelas melanggar batas
itu.
“Ah,”
Langit seperti sadar arti lirikan Aura. “Gue cuma nganterin Katrissa. Kasihan
dia bawa barang seberat ini. Cowok yang baik harus ngebantuin cewek, kan?”
“Dan
cowok yang baik juga sadar diri akan posisinya,” sindir Aura tajam.
“Makasih,
Langit,” Katrissa mengambil boks cokelatnya dari pelukan Langit. Ia tidak ingin
membuat Langit terlibat masalah lebih jauh. “Gue bawa sendiri aja. Kelas udah
dekat.”
Langit mengalah.
Ia melambaikan tangannya pada gadis itu seraya berjalan menjauh. “See you again, Katrissa.”
“Like never!” Milani berkacak pinggang.
Ia memutar bola matanya, seakan tidak percaya paginya yang indah ini harus
dirusak dengan melihat Langit.
Aura
mendesah perlahan. Suaranya terdengar lembut, tetapi terasa ada tuntutan keras di dalamnya. “Please deh, Rissa. Lo tuh harus cepatan
punya pacar. Bahaya banget jadi cewek populer tanpa pacar. Lo bisa menarik
makhluk-makhluk yang tidak diinginkan kaya’ si aneh tadi itu.”
“Langit.
Namanya Langit, Aura.”
Katrissa
berjalan menuju kelasnya. Ia melempar tasnya sembarangan dan menuju ke
proyektor di depan kelasnya untuk mulai menyiapkan presentasinya. Ditha, teman
satu kelompoknya, segera membantunya. Hanya Aura yang seperti biasa terlihat
tidak peduli. Padahal poin untuk presentasi ini besar artinya untuk mereka.
“Nggak
tahu, deh Aura. Gue belum mikirin hal itu.”
Aura
langsung tertawa begitu mendengarnya. “Belum mikirin? Katrissa, lo tuh udah
jadi salah satu cewek terkeren di Egan, yang artinya lo bisa menggaet cowok
mana pun yang suka dan lo belum memutuskannya siapa yang kudu mendampingi lo?”
Katrissa
ingin membantah bahwa ia tidak ingin diburu-buru dalam masalah pacaran. Tetapi
Aura malah berjalan ke depan kelas dan berkata, “Guys! Siapa yang mau jadi cowoknya
Rissa?”
“Aura!”
Di luar
dugaan Katrissa, hampir semua cowok di kelasnya langsung mengangkat tangannya. Ya ampun. Memalukan sekali. Sekarang ia lebih
mirip sapi yang hendak dilelang.
“See, Rissa?” Aura mendekati Katrissa dan
berbisik padanya. “Cowok itu sekarang ngerebutin elo. Walaupun emang sih di
sini hanya ada satu atau dua yang pantes buat lo, sih. Kaya’ Malik si Arab campuran itu atau Felix
yang kemarin main sinetron itu. The point
is…”
“Aura!”
potong Katrissa, berusaha
menutupi rasa malunya. “Pikirin dulu soal presentasinya!”
Aura
mengikuti gaya bicara Katrissa dengan jengkel. Katrissa tidak peduli. Ia lebih memikirkan
bagaimana caranya agar power point yang dibuatnya semalam bisa tampil di
proyektor.
Dan
kemudian, bel sekolah tanda pelajaran dimulai berbunyi.