Seharusnya tidak begini. Seharusnya semua berjalan lancar sesuai rencananya dua minggu yang lalu.
"Ton, siapa yang akan kamu bawa ke ultah Siska nanti." tanya Hari, temannya sekaligus pacar Siska.
"Emangnya penting?"
Hari menonjok pundak temannya dengan main-main, membuat Toni tergelak. "Oke. Lihat saja nanti, di pesta Siska nanti aku akan membawa salah satu diantara dari mereka. Dan di tengah pesta aku akan langsung menembaknya."
Itu rencananya. Toni selalu berpikir kalau semuanya akan berjalan lancar. Ia tinggal akan telepon salah satunya dan semuanya beres.
Tapi nggak semudah itu. Di hari-hari terakhir ia disibukkan oleh pemikiran mana yang lebih pantas jadi pacarnya. Maya memang tipe ideal seorang cewek: anggun dan cantik bagaikan seorang putri. Satu-satunya kekurangannya adalah isi otaknya. Sebaliknya kelebihan Karin ada di otaknya. Ia cerdas, populer dan kaya. Hanya saja mulut Karin besar. Kalau sudah terbuka, susah ditutup. Nah, kekurangan Karin ini yang jadi kelebihan Septiana. Septiana amat tenang. Diantara ketiganya yang paling jelek memang Septiana, tapi anaknya baik hati dan yang paling disukai Toni, Septiana nggak pernah mengatakan "nggak" padanya.
Toni meraih handphonenya dan mencari-cari nomer telepon Septiana di bagian buku alamat.
"Halo?" terdengar nada lembut mengalun dari seberang, suara bidadari penyelamatnya.
"Septiana, ya?."
"Toni, ya?
"Kamu datang ke ultah Siska besok malam, nggak?"
"Tentu aja. Kenapa?"
"Sudah ada yang mau nganterin, belum?"
"Sudah"
Jantung Toni mendadak ingin meledak. "Siapa?"
"Kakakku."
Toni tersenyum lega. "Boleh nggak aku menggantikan tugas kakakmu?"
"Maksudmu kamu mau menjemput aku?"
"Iya." Yes! teriak Toni dalam hati. Septiana pasti setuju. Mendadak pikirannya melayang. Cukup sebulan saja jadian dengan Septiana, kemudian Maya atau Karin. Atau dua minggu saja?
Terdengar nada diam yang panjang.
"Kenapa aku, bukan Maya atau Karin."
Toni ternganga sesaat, ia tak menduga sama sekali. "Egh..mereka nggak bisa. Maya lagi syuting dan Karin sakit."
"Karena itu kamu mengajakku? Karena mereka nggak bisa?"
Toni menjadi panik. Kok tiba-tiba begini.
"Bukan begitu maksudku, Ana."
"Aku mengerti kok, Ton. Jangan khawatir. Aku akan datang, tapi nggak bersamamu. Maaf ya, Ton. Aku harap kamu mengerti."
"Mengerti apa?"
Toni tersentak.
"Aku pikir kamu akan bilang iya, tadi." Karin berbaring di atas tempat tidur Septiana.
"Iya."balas Maya. "Ini
"Nggak." Septiana meletakkan handphonenya dan berbaring memeluk bantalnya. "Habis aku dijadikan ban serep. Memangnya aku cewek apaan."
"Kira-kira Toni lagi ngapain, ya?" tanya Karin.
"Mau taruhan?" Maya tersenyum. "Kurasa ia sedang mencari gadis keempat."
Toni menekan nomer telepon yang nyaris dilupakannya. Kali ini pasti berhasil. Gadis ini tergila-gila padanya. Toni menarik nafas dalam-dalam ketika mendengar sambutan dari seberang.
"Halo, bisa bicara dengan..."
0 komentar:
Post a Comment